Seorang teman sangat besar pengaruhnya bagi agama seseorang. Lihatlah Abu Thalib! Bagaimana dia tidak mau menerima dakwah Rasulullah n dan akhirnya mati di atas kesyirikan disebabkan teman yang mendampinginya yakni Abu Jahal yang terus memengaruhinya untuk tidak menerima dakwah Rasulullah n.1
Ketahuilah, semoga Allah l merahmati Anda, tidak semua orang bisa dijadikan sahabat. Karena Rasulullah n berkata:
الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang ada di atas agama/perangai temannya, maka hendaknya seseorang meneliti siapa yang dia jadikan temannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 127)
Beliau n juga berkata:
لاَ تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِناً، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَا تَقِيٌّ
“Janganlah kamu berteman kecuali dengan orang mukmin dan janganlah memakan makananmu kecuali orang bertakwa.” (HR. Abu Dawud no. 4832 dan dihasankan Asy-Syaikh Albani dalam Shahih Jami’ no. 7341)
Beliau n juga berkata:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
“Permisalan teman yang baik dan teman yang jelek seperti penjual misk dan pandai besi. Adapun penjual misk, bisa jadi engkau diberi olehnya, membeli darinya, atau minimalnya engkau mendapatkan bau wangi. Adapun pandai besi bisa jadi membakar pakaianmu atau engkau mencium bau tidak sedap darinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5534 dan Muslim no. 2628)
Seseorang yang akan dijadikan teman hendaknya memenuhi syarat-syarat yang dijelaskan oleh para ulama. Kriteria seseorang yang bisa dijadikan teman adalah sebagai berikut:
1. Berakal
Ini adalah modal utama dalam persahabatan setelah iman. Tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang dungu, karena dia ingin berbuat baik kepadamu namun hal tersebut justru bermudharat bagimu. Yang dimaksud berakal di sini adalah mampu memahami keadaan yang sebenarnya, baik memahaminya sendiri atau bisa memahami ketika diberi pengertian.
2. Berakhlak baik
Betapa banyak orang berakal namun ketika marah atau dikuasai syahwat, dia akan mengikuti hawa nafsunya. Maka tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang seperti ini.
Lalu, bagaimana cara kita mengetahui akhlak seseorang? Ada beberapa cara untuk mengetahui akhlak seseorang. Diantaranya:
a. Melihat siapa temannya.
الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang ada di atas agama/perangai temannya maka hendaknya seseorang meneliti siapa yang dia jadikan temannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 127)
Ibnu Mas’ud z berkata: “Nilailah (kenalilah) manusia dengan menilai (mengenal) teman-temannya.”
Dalam pepatah Arab dinyatakan, “Katakan kepadaku siapa temanmu, maka aku akan sampaikan siapa sebenarnya kamu.”
Sebagian ahli hikmah menyatakan: “Kenali temanmu dengan mengenali temannya sebelummu.”
b. Akhlak seseorang juga akan diketahui dengan safar (bepergian) dengannya.
Perjalanan jauh disebut safar (yang dalam bahasa Arab bermakna ‘menyingkap’) karena akan menyingkap hakikat jatidiri seseorang. Dalam safar, akan terlihat banyak akhlak dan tabiatnya. Oleh karena itu, orang Arab menyatakan, “Safar adalah mizan (timbangan) bagi satu kaum.”
3. Bukan orang fasiq
Seorang fasiq tidak takut kepada Allah l. Seseorang yang tidak takut kepada Allah l, maka kita tidak merasa aman dari pengkhianatannya dan tidak bisa dipercaya.
4. Bukan ahlul bid’ah
Karena dikhawatirkan dia akan menebarkan kebid’ahannya kepada orang lain2.
Fudhail bin Iyadh t berkata, “Tidak mungkin seorang Ahlus Sunnah berteman (condong) kepada ahlul bid’ah, kecuali karena adanya kemunafikan (dalam hatinya).”
Beliau t berkata juga, “Hati-hatilah. Janganlah engkau duduk bersama orang yang akan merusak hatimu. Jangan pula engkau duduk bersama pengikut hawa nafsu, karena aku khawatir murka Allah l menimpamu.”
5. Bukan orang yang tamak dan rakus terhadap dunia
(Lihat Mukhtashar Minhajul Qasidhin hal. 99, Ni’matul Ukhuwah hal. 19-25)
1 Hadits riwayat Al-Bukhari (no. 3671) dan Muslim (no. 24) dari Musayib z: Ketika sakaratul maut mendatangi Abu Thalib, Rasulullah n datang dalam keadaan di sisi Abu Thalib ada Abdullah bin Umayyah dan Abu Jahl. Rasulullah n berkata, “Wahai paman, katakanlah Laa ilaha illallah, satu kalimat yang dengannya aku akan membela kamu di sisi Allah.” Keduanya berkata, “Apakah kamu membenci agama Abdul Muthalib?” Nabi n mengulang ucapannya, maka keduanya pun mengulang ucapannya. Maka, akhir hidup Abu Thalib adalah di atas agama Abdul Muthalib (yakni di atas kesyirikan).
2 Lihat pembahasan Kajian Utama dengan judul Bahaya Berteman dengan Ahlul Bid’ah pada edisi ini di hal. 28.
No comments:
Post a Comment